Di balik ketenangan halaman pesantren, lantunan ayat-ayat suci, dan semangat mencari ilmu, ada suara-suara lirih yang kadang tak terdengar. Itu adalah suara hati para santri—anak-anak muda yang sedang belajar hidup, sambil membawa luka dari rumah. Di antara mereka, ada yang berasal dari keluarga broken home. Ayah dan ibu tak lagi tinggal bersama. Rumah tak lagi menjadi tempat kembali yang utuh. Dan pesantren jadi satu-satunya tempat yang diharapkan bisa memberi tenang.
Tapi luka itu tidak hilang begitu saja. Rasa kehilangan, kecewa, marah, dan cemas tetap menyelinap di balik rutinitas ngaji dan belajar. Bagi sebagian santri, luka itu bahkan berubah menjadi gelisah yang tak kunjung reda. Mereka jadi pemurung, mudah tersinggung, atau justru membangun tembok tinggi untuk melindungi diri. Ini bukan sekadar soal disiplin atau ketidakwajaran perilaku—ini tentang kesehatan mental yang butuh disentuh dengan kelembutan dan pemahaman.
Dalam dunia pesantren, isu psikologis sering luput dari perhatian. Bukan karena tak peduli, tapi karena keterbatasan pendekatan yang cocok dengan suasana religius dan budaya pesantren. Di sinilah muncul satu solusi sederhana namun menyentuh: expressive writing therapy—menulis untuk menyembuhkan diri.
Sebuah studi dilakukan di Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep. Sepuluh santri dari latar belakang keluarga broken home dilibatkan. Lima orang menjalani terapi expressive writing selama lima hari. Mereka diminta untuk menulis secara jujur dan bebas tentang apa yang mereka rasakan—tentang ayah, ibu, perpisahan, rasa sedih, marah, bingung, harapan… semua yang sulit diucapkan lewat mulut, dituangkan lewat kata.
Awalnya canggung. Menulis tentang luka bukan hal yang mudah. Tapi perlahan, tulisan itu menjadi tempat pelarian yang aman. Ada yang menangis setelah menulis. Ada yang merasa lebih lega. Ada juga yang mulai menyadari, bahwa mereka sebenarnya hanya ingin dipahami.
Dan hasilnya? Signifikan. Tingkat kecemasan mereka menurun. Perilaku mereka membaik. Mereka jadi lebih terbuka, lebih percaya diri, dan yang paling penting: mereka mulai berdamai dengan masa lalu mereka.
Menulis ternyata bukan hanya soal mencatat peristiwa, tapi juga cara menyusun kembali kepingan diri yang sempat hancur. Expressive writing menjadi bentuk katarsis—pelepasan emosional—yang bisa dilakukan siapa saja, di mana saja, tanpa harus menunggu jadi penyair atau penulis. Bahkan di pesantren, yang identik dengan kitab kuning dan hafalan, metode ini bisa menjadi jembatan antara jiwa yang rapuh dan proses penyembuhan yang halus.
Yang menarik, terapi ini sangat praktis dan hemat biaya. Tak perlu alat khusus, tak perlu teknologi canggih. Cukup selembar kertas, pena, dan kejujuran dalam hati. Ini sangat cocok diterapkan di lingkungan pesantren yang sederhana namun sarat nilai spiritual. Bahkan, expressive writing bisa menjadi salah satu bentuk ibadah: mengolah luka menjadi doa, menata emosi menjadi jalan untuk lebih mengenal diri dan Tuhan.
Bagi para guru, ustaz, atau konselor di pesantren, expressive writing bisa menjadi pendekatan yang empatik. Ini bukan pengganti nasehat, tapi pelengkapnya. Karena tak semua masalah selesai dengan ceramah. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah ruang untuk didengar—meski lewat tulisan.
Santri yang terluka bukan berarti lemah. Mereka hanya belum menemukan cara menyuarakan isi hatinya. Dan mungkin, dengan pena di tangan dan halaman kosong di hadapan, mereka akan menemukan kembali kekuatan yang selama ini tersembunyi.[]