Di tengah gempuran teori-teori Barat yang mendominasi dunia konseling modern, ada satu pertanyaan penting yang perlu kita ajukan: apakah pendekatan yang dibentuk di luar konteks budaya dan spiritual kita benar-benar mampu menjawab problematika kehidupan masyarakat Indonesia? Apalagi jika kita bicara tentang lembaga pendidikan khas Nusantara seperti pesantren—yang bukan hanya tempat belajar agama, tapi juga tempat membentuk karakter, merawat tradisi, dan menyemai nilai-nilai kehidupan.
Dari keresahan ini, Samsul Arifin dan Mokhammad Baharun menyusun sebuah konsep penting: model konseling berbasis pesantren, dengan landasan nilai utama yang sangat khas Islam: at-tawazun, atau keseimbangan. Mereka percaya bahwa jika konseling ingin efektif dan bermakna di Indonesia, maka ia harus berakar dari akar yang tumbuh di tanahnya sendiri—yakni budaya, spiritualitas, dan kearifan lokal pesantren.
Penelitian mereka dilakukan di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo, Jawa Timur, melalui pendekatan service-learning—gabungan antara riset dan pengabdian masyarakat. Di sinilah mereka mengembangkan model konseling yang tidak sekadar “mengatasi masalah”, tetapi membentuk karakter utuh santri sebagai “khaira ummah”—generasi terbaik yang seimbang antara ibadah dan sosial, antara dunia dan akhirat.
Konsep at-tawazun dijadikan jantung dari seluruh proses konseling. Ini bukan sekadar teori, tapi cara pandang terhadap hidup yang menyeluruh. Santri diajak menyeimbangkan antara:
- Peran spiritual (‘abd Allah) dan peran sosial (khalifatullah)
- Aspek ritual (diniyah) dan sosial (mu’amalah)
- Cita-cita duniawi dan visi ukhrawi
Menariknya, peran konselor dalam konteks pesantren juga punya standar yang berbeda. Bukan hanya harus kompeten secara ilmiah (shalahiyyah), tetapi juga berintegritas secara moral dan spiritual (shalih). Ini penting, karena dalam budaya pesantren, santri tidak hanya belajar dari ceramah, tapi juga dari keteladanan.
Teknik konseling yang dikembangkan pun sangat khas pesantren. Misalnya, ada:
- Uswah hasanah (keteladanan)
- Khidmah (pelayanan dan pengabdian)
- Riyadhah ruhaniyah (latihan spiritual)
- Silaturrahim dan dialog terbuka
- Targhib (motivasi) dan ta’zir (pendisiplinan) yang seimbang
Semua ini dibungkus dengan pendekatan yang berkelanjutan—tidak episodik seperti layanan konseling di tempat lain. Konseling dalam pesantren berjalan alami, menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara guru dan santri bersifat mendalam dan bersifat transformasional, bukan sekadar transaksional.
Hal lain yang luar biasa dari model ini adalah keberaniannya membongkar batas antara teori dan praktik, antara teks dan konteks. Ia tidak meminjam istilah atau metode dari luar, tetapi menggali dari kebijaksanaan lokal—bahkan sampai pada penggunaan pepatah Madura untuk menyampaikan nilai secara halus namun mengena.
Model ini menjawab kekosongan yang selama ini ada: dominasi teori konseling Barat yang tidak ramah terhadap spiritualitas, tidak akrab dengan budaya lokal, dan kadang terasa terlalu individualistik. Dengan konseling berbasis pesantren, pendekatan yang ditawarkan jauh lebih membumi, lebih menyentuh, dan lebih sesuai dengan cara hidup masyarakat kita yang komunal dan spiritual.
Namun tentu saja, model ini masih punya PR besar. Ia belum diuji secara kuantitatif, belum banyak diterapkan di sekolah umum, dan masih butuh pengembangan di banyak lini. Tapi sebagai konsep, ia adalah langkah penting menuju kemandirian paradigma konseling Islam di Indonesia.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti mencari model dari luar, dan mulai melihat potensi yang sudah tumbuh di sekitar kita. Karena bisa jadi, kekuatan pendidikan dan penyembuhan terbesar kita bukan datang dari teori-teori asing, tapi dari tradisi yang diam-diam telah membentuk kita selama ratusan tahun: pesantren. []