Hari ini, dunia bergerak begitu cepat. Informasi datang tanpa henti, tantangan datang silih berganti, dan anak-anak muda—termasuk para santri di pondok pesantren—dituntut untuk siap menghadapi semuanya. Tapi, pertanyaannya: siapkah mereka?
Santri zaman sekarang bukan lagi anak desa yang hidup dalam dunia sunyi dan kitab kuning. Mereka hidup di dua dunia sekaligus—tradisi dan teknologi, masjid dan media sosial. Di sinilah muncul tantangan besar: bagaimana mencetak santri yang bukan hanya religius, tapi juga tangguh menghadapi kerasnya hidup?
Sebuah studi yang dilakukan oleh tim peneliti dari Universitas Muhammadiyah Jakarta mencoba menjawab tantangan ini. Mereka meneliti bagaimana pondok pesantren—khususnya di Ali Maksum Yogyakarta—berjuang membentuk santri yang resilien alias tahan banting. Dan menariknya, mereka menemukan bahwa salah satu kunci keberhasilannya adalah kerja sama antara pesantren dan guru bimbingan konseling (BK).
Ya, kamu nggak salah baca. BK, yang selama ini sering dianggap sebelah mata, ternyata punya peran strategis dalam dunia pesantren. Bukan cuma ngurusin anak yang bolos atau galau, tapi membantu santri mengenali diri, mengelola stres, dan menghadapi konflik batin dengan bijak.
Para guru BK ini mendampingi santri lewat sesi bimbingan individu, kelompok, dan bahkan program-program kreatif yang dirancang sesuai dengan budaya pesantren. Mereka bekerjasama dengan wali kelas, kiai, dan para pengurus untuk menciptakan suasana pendidikan yang membentuk karakter tangguh, bukan cuma hafalan dan ibadah semata.
Yang menarik, para peneliti juga menyoroti perlunya “desakralisasi pesantren”—bukan dalam arti merendahkan, tapi membuka ruang untuk pendekatan baru yang lebih manusiawi dan kontekstual. Pesantren tidak cukup hanya mempertahankan tradisi; mereka juga harus mampu menjawab tantangan zaman dengan cara yang relevan.
Misalnya, santri diajak berdialog, bukan sekadar menerima. Mereka diajak menulis, diskusi, menghadapi konflik sosial, dan belajar menyelesaikannya dengan nilai-nilai Islam yang membumi. Semua ini dilakukan dengan tetap menjaga ruh pesantren—kesederhanaan, adab, dan kedekatan dengan guru.
Hasilnya? Santri jadi lebih siap. Bukan cuma siap ujian kitab, tapi juga siap hidup. Mereka belajar bahwa hidup itu penuh tantangan, tapi bukan untuk dihindari—melainkan dihadapi dengan kepala dingin dan hati yang teguh.
Tentu saja, masih banyak tantangan. Kurangnya waktu guru BK, keterbatasan sumber daya, bahkan motivasi santri yang kadang naik-turun. Tapi satu hal yang pasti: ketika pesantren dan guru BK jalan bareng, maka proses pendidikan jadi lebih utuh—bukan hanya mencetak lulusan pintar, tapi juga pribadi yang kuat.
Di tengah dunia yang makin rumit, kita butuh lebih banyak orang yang berani memadukan nilai dan akal, tradisi dan inovasi. Dan pesantren bisa jadi tempat terbaik untuk memulainya—asal mau beradaptasi, terbuka, dan terus bergerak maju.[]