Hidup sebagai mahasiswa itu kadang membingungkan. Di satu sisi, kita dituntut mandiri dan dewasa. Di sisi lain, realitas nggak selalu seindah teori. Tugas menumpuk, konflik dengan teman muncul tiba-tiba, ekspektasi orang tua makin tinggi, dan media sosial malah bikin makin cemas. Lama-lama semua itu ngendap jadi satu: stres.
Tapi menariknya, sebuah penelitian dari UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan menunjukkan bahwa ada satu cara sederhana yang bisa membantu mahasiswa menghadapi tekanan itu: menulis. Bukan menulis tugas kuliah atau caption Instagram, tapi menulis untuk berdialog dengan diri sendiri—menulis sebagai bentuk muhasabah.
Muhasabah itu artinya introspeksi. Dalam Islam, muhasabah adalah proses merenungi hidup, mengevaluasi diri, dan mengingat kembali hubungan kita dengan Allah. Nah, ketika muhasabah digabungkan dengan menulis, hasilnya bukan cuma perasaan lega, tapi juga penyembuhan perlahan dari dalam.
Dalam penelitian itu, 88 mahasiswa diminta menjalani terapi menulis selama lima hari berturut-turut. Mereka menulis tentang isi hati mereka—apa yang mereka rasakan, sesali, harapkan, dan syukuri. Hasilnya? Tingkat stres mereka turun secara signifikan. Tapi yang paling menarik bukan hanya angka yang menurun, melainkan kata-kata yang keluar dari mereka sendiri.
Banyak dari mereka bilang merasa lebih damai, lebih sadar diri, lebih bisa menerima kenyataan, dan bahkan lebih dekat dengan Tuhan. Ada yang menulis tentang kesalahan masa lalu, lalu merasa lebih ikhlas setelah menuangkannya. Ada juga yang menulis tentang rasa syukur dan mendadak merasa hidupnya nggak seburuk yang selama ini ia pikirkan.
Proses menulis ini bukan cuma soal curhat bebas. Peneliti membagi tahapannya dengan rapi: mulai dari expressive writing (tulisan bebas soal emosi), lanjut ke reflective writing (merenungi makna tulisan), dan ditutup dengan spiritual integration (mengaitkan dengan nilai-nilai Islam). Jadi ini bukan sekadar “nulis biar lega”, tapi nulis yang bikin kamu tumbuh.
Yang paling menarik adalah: terapi ini nggak butuh biaya mahal, alat canggih, atau tempat mewah. Kamu cuma butuh waktu sejenak, selembar kertas, dan keberanian untuk jujur. Kadang, itu aja udah cukup buat mulai pulih.
Kita sering merasa butuh orang lain untuk bisa sembuh. Tapi lewat menulis, kita diajak untuk menemukan kembali suara hati kita sendiri. Kadang, hal paling menyakitkan adalah saat kita berhenti mendengarkan diri kita. Dan lewat tulisan, kita bisa kembali menyapa luka yang sempat kita diamkan, dan bilang: "Aku dengar kamu. Ayo pelan-pelan kita hadapi."
Menulis mungkin bukan segalanya. Tapi dari sana, kamu bisa mulai. Mungkin kamu nggak bisa mengubah dunia dalam sehari. Tapi kamu bisa mengubah caramu melihat hidup—dan itu lebih dari cukup untuk hari ini. []