Kalau kamu pernah berpikir bahwa menulis itu hanya untuk orang yang jenius, puitis, atau punya banyak kata-kata indah di kepala—mungkin kamu cuma belum kenal dengan caramu sendiri. Karena sebenarnya, menulis itu bukan soal bakat, tapi soal keberanian mengenal dan mengekspresikan diri.
Dalam hidup, ada banyak hal yang nggak bisa kita ucapkan. Tapi lewat tulisan, semua bisa keluar: marah, sedih, bahagia, bahkan kegelisahan tentang masa depan. Dan kabar baiknya, semua orang bisa belajar menulis—kalau tahu caranya.
Menulis Itu Ada Polanya
Prof. Darni dan tim penulis buku Menulis Kreatif menyadari satu hal penting: pelajaran menulis sering kali membosankan karena kita disuruh menulis tanpa disiapkan secara psikologis. Makanya mereka bikin metode keren bernama Integrative Writing Model (IWM).
Model ini punya empat tahap:
- Pra-menulis, di mana kamu kenalan dulu sama dirimu sendiri: kamu tipe penulis yang seperti apa sih?
- Proses menulis, ini tahap ngedraft dan ngedit.
- Penilaian pasca-menulis, baik dari diri sendiri, teman, atau guru.
- Refleksi, bagian yang jarang diajarkan—merenung: "Apa yang kupelajari dari menulis ini?"
Model ini ngajak kita buat melibatkan hati dan kepribadian, bukan sekadar teknik bahasa.
Kenalan Dulu Sama Dirimu (Lewat MBTI)
Sebelum nulis, kita diajak buat ngaca dulu: "Aku ini penulis tipe apa, ya?" Nah, di sini masuklah alat keren bernama MBTI (Myers-Briggs Type Indicator). Kamu mungkin pernah dengar soal 16 tipe kepribadian seperti INFP, ESTJ, dan sebagainya.
Ternyata, tipe kepribadian ini juga ngaruh banget ke cara kamu menulis.
- Kalau kamu introvert, mungkin lebih suka mikir panjang dulu sebelum nulis.
- Kalau kamu ekstrovert, ide bisa muncul pas ngobrol atau diskusi.
- Kalau kamu intuitif, tulisanmu penuh imajinasi.
- Kalau kamu sensing, kamu suka fakta dan detail.
Dengan tahu tipe diri, kamu bisa menemukan gaya menulis yang paling nyaman buatmu.
Menulis Itu Nggak Harus Langsung Bagus
Nggak ada penulis hebat yang langsung keren dari tulisan pertama. Bahkan penulis besar pun bilang: “Draft pertama itu sampah. Tapi kita butuh draft itu supaya bisa menemukan emasnya.”
Makanya dalam buku ini, proses sangat dihargai. Ada sesi di mana kamu bebas berekspresi tanpa takut salah, lalu pelan-pelan kamu belajar ngedit, memperbaiki, dan mendapatkan umpan balik dari teman.
Menulis jadi kegiatan yang hidup dan penuh eksplorasi, bukan ujian yang bikin stres.
Menulis Itu Juga Terapi
Penulis buku ini percaya bahwa menulis bisa menyembuhkan, dan ini bukan omong kosong. Dengan menulis, kita bisa memproses emosi, menyusun ulang pikiran yang kusut, dan kadang menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini hanya kita simpan diam-diam.
Kalau kamu sedang patah hati, kecewa, marah, atau bingung tentang masa depan—cobalah menulis. Mungkin kamu akan menemukan bahwa yang kamu butuhkan bukan solusi instan, tapi ruang untuk jujur pada diri sendiri.
Kamu Bisa Mulai dari Cerita Pendek
Di bagian akhir buku ini, ada banyak contoh cerita pendek (cerkak) karya mahasiswa. Ceritanya kadang lucu, kadang ngena, kadang nyebelin. Tapi semuanya jujur dan menggambarkan isi kepala anak muda zaman sekarang.
Ini membuktikan satu hal: kamu nggak harus jadi pujangga untuk bisa nulis cerita yang menyentuh. Kamu hanya perlu jadi dirimu sendiri, dan berani menuliskannya.
Penutup: Kamu Penulisnya, Bukan Orang Lain
Banyak orang gagal menulis karena sibuk meniru gaya orang lain. Padahal, gaya terbaik adalah gaya yang paling jujur buatmu sendiri.
Buku ini ngajarin bahwa menulis itu bukan soal indah atau tidak, tapi soal kejujuran, keberanian, dan proses mengenali diri sendiri.
Jadi mulai sekarang, coba deh ambil buku tulis atau buka aplikasi catatanmu. Tulis aja satu kalimat: "Hari ini aku merasa..."
Biarkan satu kalimat itu berkembang. Karena bisa jadi, itu adalah awal dari cerita yang akan menyembuhkanmu—dan mungkin juga orang lain. []