Oleh: Chairul Ismet (Santri Aliyah Al-Huda Kelas X Jurusan IIK)
Akhir-akhir ini terjadi begitu banyak pemberontakan kognitivitas pada kancah edukasi yang menyebabkan sebuah sifat yang melekat pada tubuh masyarakat. Pada ranah disiplin ilmu ushul fiqih, hal demikian disebut dengan 'Taqlid'. Yakni, sebuah istilah yang mengacu kepada anti-kritis dalam ruang lingkup edukasi atau yang bersifat keagamaan.
Istilah ini mengandung arti yang cukup bisa mewakili seluruh parasit yang ada pada negara kita tercinta Indonesia. Betapa tidak, begitu banyak data-data yang meyakinkan kita terkait dengan SDM Indonesia yang rendah dan Visa Indonesia yang merosot membuat diri kita mampu berspekulasi bahwasannya negeri ini berada dalam sebuah problematika krisis literasi dan krisis kritisasi.
Surat Ali-'Imran ayat ke 9 pada penggalannya, "Ar-Roosikhuuna Fil Ilmi" merupakan salah satu solusi dari resesi edukasi yang kita hadapi kali ini. Hal itu didukung dengan karakteristik arti yang ada dalam istilah tersebut.
Kritis, Ilmiah dan Responsif adalah karakteristik atau ciri-ciri orang yang mempunyai kedalaman ilmu. Betapa tidak, kondisi ini didasarkan kepada sebuah realita di dunia di mana ketika seekor ikan badut ditempatkan pada akuarium maka dia akan merajai tempat itu, akan tetapi jika ikan badut itu ditempatkan di laut maka yang akan terjadi adalah sebuah sifat kerendahan hati yang disebabkan tempatnya yang besar. Begitupun dengan orang yang berilmu yang tak dapat dihindari, semakin banyak ilmunya semakin rendah hati ia bak semakin padi tua maka semakin tunduklah ia.
Demikian jika kita fikirkan lebih lanjut lagi, faktor-faktor tersebut bisa menjadikan seseorang dari berilmu menjadi lebih berilmu. Itu karena, ketika seseorang berilmu pasti dia akan mencari ilmu lainnya lagi dengan metodologi yang ia pelajari.
Metodologi terkait merupakan hasil dari berfikir kritis, entahkah pencarian itu dengan pertanyaan atau analisis berbasis empiris. Yang pada akhirnya, rasa kritis tersebut bisa menimbulkan responsibilitas atau sebuah recognition yang menghasilkan suatu pengetahuan yang metodis, sistematis dan empiris yang sering kita sebut dengan ilmu. Dan dengan ilmu itulah, ia dapat menemukan sebuah solusi dari komplikasi yang pada akhirnya bisa disebut dengan ilmiah.
Oleh karena itu, bernalar kritis bagi setiap individu terutama pelajar Indonesia sangatlah penting mengingat dampak nalar tersebut bisa membawa kebermanfaatan dalam pencarian kebenaran dan atau yang disebut veripikato. Berikut sebagai limitasi-limitasi kritis itu sendiri,.yaitu :
1. Kri·tis2 a 1 bersifat tidak lekas percaya; 2 bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; 3 tajam dalam penganalisisan; (menurut KBBI).
Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kritis itu adalah sifat manusia yang berdasar pada nalar analisisnya dan nalar intelektualnya. Hal itu dibuktikan dengan manusia yang tak lekas percaya dengan datangnya suatu informasi yang baru. Dan sebagaimana perintah Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”
Ayat ini adalah Titah Allah Ta'ala bagi setiap individu apabila mendapatkan sebuah informasi baru maka hendaklah bertabayyun, sedangkan bertabayyun itu mempunyai metodologi yang bermacam-macam seperti konfirmasi, verifikasi, klarifikasi. Dan dari hal ini semua maka didapatlah sebuah kesimpulan benar atau tidaknya sebuah berita atau informasi.
Dan jika kita tinjau lagi dalam perspektif disiplin ilmu Balaghah, maka kita akan menemukan sebuah pernyataan baru bahwasannya hal ini bersifat universal dan tidak terfokus kepada orang fasik saja. Kaidah itu dikenal dengan "ithlaaqul Juz'i wa Iroodatul kullli" dalam artian "Menyebut sebagian yang dimaksud seluruhnya." Karena ada qorinah di depan bilamana dampak dari hal terkait bisa menimbulkan mafsadat maka hendaklah bertabayyun bahkan usahakan bertabayyun untuk mendapatkan hasil yang pasti dan terpercaya.
2. Dalam istilah berpikir kritis, kata kritis berasal dari kata Yunani yaitu κριτικός (kritikós) yang artinya "kritik/kritis", yang diidentifikasi sebagai kapasitas intelektual dan sarana untuk "menghakimi", "menghakimi", "menilai", dan "mampu membedakan".(The New Shorter English Dictionary)
Sarana menghakimi dan menilai adalah akal, akal disebut Nuhyah yang berasal dari Bahasa Arab dari wazan "Nahaa" yang berarti melarang maka hal tersebut diartikan sebagai pelarang. Sebab, akal mempunyai ability inteligence sendiri di mana akal mampu mencegah dirinya dari perbuatan yang dihasilkan akal yakni keburukan atau kejelekan dalam perspektif akal.
Karena pada dasarnya akal akan menghasilkan sebuah spekulasi mengenai benar atau tidaknya sesuatu menurut apa-apa yang berada dalam fikiran manusia itu sendiri. Maka jika ia dididik dengan nilai-nilai kesesatan mengatasnamakan kebenaran maka yang akan terjadi dia akan membenarkan kesesatan itu walaupun orang lain menyalahkan kesesatan itu.
Selanjutnya, dengan hasil demikian akal bisa mencegah manusia berbuat sesuatu yang dianggap akal sebagai keburukan. Seseorang yang mengetahui akan yang Haq misalnya mabuk itu haram, maka ketika ia hendak meminum khamr untuk mabuk yang akan terjadi adalah pencegahan berupa ketakutan atau hal lain sebagainya yang dihasilkan oleh akal atau Nuhyah itu.
Dengan demikian, orang yang berakal menggunakan akal mereka sebagai betul-betul Nuhyah sebagai pembeda yang hak dan yang batil, sebagai penghukum atas sesuatu yang salah atau menyimpang dari ketentuan yang benar dan sebagai penilai atas asas, moral, dan nilai atas berlakunya hukum tertentu.
Demikian pula ketika akal mendapatkan sebuah informasi berupa aqwal, af'al, shifat, taqrir atau situasi dan kondisi yang baru, akal dapat mendeteksi hal tersebut sebagai kebenaran atau tidak atau minimal akal tersebut mencari kebenaran. Pasalnya, nalar yang non-kritis tentu akan langsung mencerna informasi tersebut karena beberapa sebab. Biasanya sebab tersebut adalah sebuah kebiasaan atau adat-istiadat penghormatan pada guru pemberi ilmu yang digadang-gadang sebagai setengah dewa. Hal itu memicu seorang murid yang taqlid biasanya langsung mencerna apa yang dikatakan guru tersebut bahkan, hal ini sudah menjadi penyakit di negeri demokrasi ini.
Jika kita terpaku kepada Guru sebagai sumber ilmu lalu menelan bulat-bulat segala sesuatu yang Guru katakan itu tanpa ada proses limitasi maka yang akan terjadi adalah sebuah kesesatan bilamana guru menyampaikan Khobar yang ia anggap benar padahal "Fiinnaar" atau salah.
Janganlah kita menafikan sisi basyariyah para Guru karena Guru atau Ustadz, Kyai, Syaikh para 'ulama adalah pewaris para nabi "إن العلماء ورثة الأنبياء". Sedangkan para Nabi juga manusia "اني بشر مثلكم أكل من ما تأكلون" jikalau nabi adalah manusia dan manusiawi apalagi para 'Ustadz ! Kyai ! Syaikh ! 'Ulama ! Semoga Allah Ta'ala menjauhkan ummat Islam dari penyakit TBC (Taqlid, Bid'ah, Khurofat).
Dari definisi-definisi di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwasannya kritis adalah fungsi, kapasitas intelektual dan aplikasi dari sebuah komponen akal untuk menghakimi, menilai, menganalisis, mendeteksi, mengidentifikasi suatu informasi dengan tak lekas percaya dan selalu mengutamakan tabayyun.
Limitasi di atas menunjukkan pentingnya bernalar kritis bagi setiap golongan masyarakat terutama para pelajar yang sering terombang-ambing berita yang mudah dicerna namun sukar benarnya. Fungsi dari nalar kritis bisa membuat rangsangan otak dalam pencarian kebenaran sehingga menimbulkan truth recognition atau kesadaran akan kebenaran yang ditimbulkan dari hasil pencarian tersebut.
Jika sambal bisa menggugah nafsu makan, maka nalar kritis bisa menggugah nafsu mencari ilmu ! Dan jika hal ini terus menerus dilakukan secara berkala, kedalaman ilmu itu sendiri akan tercapai secara de facto dan de jure mengingat karakteristik "Ar-Roosikhuuna Fil 'ilmi" yang tadi.
Rekan-rekan budiman, demikianlah kritis sebagai jembatan kebenaran dan bentuk dari sebuah kapasitas intelektual yang memicu adanya kecerdasan berfikir dan yang menjadi asbab tercapainya "Ar-Roosikhuuna Fil'ilmi" yang tadi telah disebut-sebut.
Penting bagi kita untuk berkritis fikir dan jangan berkrisis fikir langsung menelan informasi yang tak terverifikasi. Tapi harus hati-hati mengkritisi, upayakan menyampaikan solusi dan aspirasi itupun kalau Negeri Wakandi unblind dari aspirasi. (*)