Menulis bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan juga sebuah proses psikologis yang mendalam. Dalam karyanya yang berjudul "Belajar Menulis dengan Psychowriting", Anas Ahmadi menghadirkan pendekatan menulis yang menyentuh aspek kognitif, emosional, bahkan spiritual dari seorang penulis. Ia menyebut pendekatan ini sebagai psychowriting, yakni menulis dengan kesadaran penuh terhadap proses berpikir dan perasaan sebagai bagian dari aktivitas belajar dan penyembuhan diri.
Konsep utama dalam psychowriting adalah bahwa menulis merupakan cara untuk "mengikat makna". Aktivitas ini bukan hanya bertujuan menghasilkan teks, tetapi juga memperkuat pemahaman, memperdalam wawasan, dan mengintegrasikan pengalaman hidup ke dalam bentuk tulisan. Dalam hal ini, menulis menjadi sarana untuk belajar secara reflektif—belajar dari diri sendiri, melalui proses mengekspresikan pikiran yang semula abstrak menjadi konkret.
Anas Ahmadi menggabungkan pendekatan ini dengan pemahaman dari neurosains dan psikologi belajar, seperti teori kecerdasan majemuk Howard Gardner. Ia menggarisbawahi bahwa proses menulis melibatkan kedua belahan otak: otak kiri yang logis dan terstruktur, serta otak kanan yang kreatif dan intuitif. Oleh karena itu, menulis yang menyenangkan dan produktif seharusnya tidak hanya terpaku pada aturan-aturan baku, tetapi juga memberi ruang bagi ekspresi bebas dan rasa nyaman.
Salah satu metode yang ditawarkan adalah free writing atau menulis bebas. Teknik ini mendorong penulis untuk menulis tanpa sensor, tanpa beban harus langsung menghasilkan tulisan “bagus”. Pendekatan ini sejalan dengan konsep psikologis tentang flow, yakni kondisi ketika seseorang tenggelam dalam aktivitas kreatif secara penuh dan spontan. Dalam konteks psychowriting, free writing menjadi cara untuk mengatasi hambatan mental seperti rasa takut salah, minder, atau perfeksionisme.
Lebih lanjut, Anas Ahmadi mengajak pembaca untuk memandang menulis sebagai kegiatan terapeutik. Dengan menulis secara reflektif, seseorang bisa mengurai emosi, menyusun ulang peristiwa hidup, bahkan menyembuhkan luka batin. Di sinilah menulis bersinggungan dengan praktik konseling atau self-healing. Menulis tidak lagi sekadar menghasilkan karya, tetapi menjadi sarana untuk membangun keutuhan psikologis dan ketenangan batin.
Hal menarik lainnya adalah keterkaitan erat antara membaca dan menulis. Anas Ahmadi menyebut bahwa menulis yang baik lahir dari pembacaan yang bermakna. Membaca memperkaya kosakata, struktur berpikir, serta menambah referensi untuk refleksi diri. Menulis kemudian menjadi proses mengolah kembali apa yang dibaca, dilihat, dan dialami ke dalam bentuk baru yang lebih personal.
Meskipun buku ini lebih bersifat inspiratif daripada instruksional, kekuatannya justru terletak pada dorongan motivasional yang kuat. Bagi mereka yang merasa "tidak berbakat menulis", Anas Ahmadi hadir sebagai suara yang meyakinkan bahwa setiap orang bisa menulis jika diberi ruang yang aman secara psikologis. Ia membongkar mitos bahwa menulis hanya untuk orang pintar atau sastrawan, dan mengembalikannya sebagai aktivitas dasar manusia untuk memahami dan mengekspresikan diri.
Namun, dari sisi akademis, buku ini memiliki beberapa keterbatasan. Penjelasan konsep dan referensi yang digunakan sering kali bersifat naratif, tanpa dukungan sitasi atau rujukan ilmiah yang eksplisit. Hal ini menjadikannya lebih cocok sebagai literatur pengayaan atau bahan refleksi, dibandingkan sebagai sumber utama dalam penelitian akademik formal. Meski demikian, nilai praktis dan filosofis dari gagasan psychowriting tetap layak diapresiasi.
Dalam dunia pendidikan, pendekatan psychowriting bisa menjadi jembatan antara kegiatan belajar dan pembentukan karakter. Guru atau fasilitator dapat menggunakan metode ini untuk membantu peserta didik mengekspresikan diri, memahami pelajaran secara personal, dan membangun kebiasaan belajar yang lebih menyenangkan dan bermakna.
Pada akhirnya, menulis dengan pendekatan psychowriting bukan hanya tentang menjadi penulis yang produktif, tetapi juga menjadi pribadi yang reflektif dan utuh. Menulis menjadi cara untuk berdialog dengan diri sendiri, mengurai kompleksitas hidup, dan merajut makna dari serpihan-serpihan pengalaman sehari-hari. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh distraksi, psychowriting menawarkan ruang hening untuk mengenali dan menguatkan diri—satu kata demi satu kalimat. []