Fitrah Anak, Bukan Kertas Kosong

 


Banyak di antara kita yang masih berpikir bahwa anak-anak dilahirkan seperti kertas putih—kosong, belum tahu apa-apa, siap diisi sesuka hati oleh lingkungannya. Padahal, menurut Islam, pemahaman ini kurang tepat. Fitrah bukan sekadar kekosongan, tapi sebuah bekal bawaan yang bernilai spiritual, psikologis, bahkan terapetik.

Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan orangtuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Hadis ini bukan hanya peringatan edukatif, tapi juga pesan dalam tentang struktur dasar jiwa manusia.

Jika kita kaitkan dengan ilmu psikologi Islam dan konseling spiritual, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai literatur dan penelitian terkini, fitrah adalah titik mula kesadaran ilahiyah dalam diri anak—suatu potensi yang belum tercemar, tapi juga bukan kosong. Ia penuh dengan kemungkinan baik, dengan energi positif yang siap tumbuh. Ia membawa serta nilai-nilai tauhid, kesiapan untuk mengenal Tuhan, dan dorongan alami untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Penelitian tentang integrasi psikologi dan agama menegaskan bahwa manusia lahir bukan hanya sebagai makhluk biologis, tapi juga spiritual. Anak-anak tidak netral secara spiritual. Mereka membawa benih kebaikan, rasa ingin tahu, kebutuhan akan cinta, dan kecenderungan untuk bertuhan. Dalam perspektif tasawuf, mereka membawa "nur"—cahaya kesucian dari alam ruh yang belum tercemar oleh dunia. Jadi, fitrah itu bukan papan tulis yang kosong, tapi taman kecil yang sedang menunggu air kasih sayang, cahaya keimanan, dan perlindungan dari badai dunia.

Konsep bahwa anak “taat” bukan berarti mereka seperti robot yang menuruti perintah. Dalam bahasa psikologi modern dan Islam, anak-anak adalah makhluk yang responnya sangat kuat terhadap stimulus sosial dan spiritual. Ketika kita menanamkan nilai melalui tindakan, bukan hanya omongan, mereka akan meniru dan menyerap.

Dalam studi tentang emosi dalam tulisan dan konseling Islam, ditemukan bahwa anak-anak (dan manusia secara umum) akan menyerap energi emosional dan spiritual dari lingkungannya. Maka jika orang tua penuh kasih, sabar, dan konsisten, anak pun tumbuh dengan jiwa yang lapang dan sehat.

Beberapa jurnal konseling Islam menunjukkan bahwa lingkungan memiliki peran sentral dalam membentuk struktur jiwa seseorang. Anak yang tumbuh dalam kekerasan verbal atau emosional tidak akan berkembang sesuai potensi fitrahnya. Sebaliknya, jika lingkungan dipenuhi dengan dzikir, cinta, dan penghargaan terhadap eksistensi anak, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang seimbang—spiritual dan psikologis. Ini seperti yang dijelaskan dalam psikoterapi Islam: jiwa yang sehat adalah jiwa yang disucikan (tazkiyatun nafs), dan prosesnya bisa dimulai sejak dini. Fitrah anak adalah titik awal terapi jiwa paling alami—ia hanya perlu dijaga, tidak perlu "dibentuk ulang".

Kalau begitu, tugas orang tua dan pendidik bukan untuk "membentuk anak dari nol", melainkan membantu anak mengenali, menjaga, dan menguatkan fitrahnya. Kita bukan pelukis di atas kanvas kosong, kita adalah tukang kebun yang merawat taman dengan sabar dan penuh cinta.

Dalam konteks bimbingan konseling Islam, ini berarti setiap proses mendidik anak seharusnya bersifat spiritual dan terhubung dengan nilai-nilai wahyu. Bukan sekadar mencetak anak pintar, tapi membimbing mereka agar jiwanya tetap sehat, akhlaknya terjaga, dan relasi dengan Allah tetap utuh.

Fitrah bukan ketiadaan, tapi potensi. Ia bukan ruang hampa, tapi cahaya yang menunggu ditumbuhkan. Maka, berhati-hatilah memperlakukan anak. Karena setiap perlakuan, kata, bahkan energi batin kita, bisa memperkuat atau mematikan cahaya itu. []

Lebih baru Lebih lama