Jadi Guru Itu Nggak Cuma Ngajar, Tapi Harus Ngajak Jadi Baik

 


Jadi guru itu bukan cuma soal menyampaikan pelajaran dari depan kelas, tapi juga tentang bagaimana mengajak murid untuk menjadi manusia yang utuh. Di tengah dunia pendidikan yang makin kompleks, guru dituntut bukan hanya punya pengetahuan luas, tapi juga karakter yang kuat. Menariknya, dalam Surat Al-Qalam ayat 1 sampai 4, Al-Qur’an memberi panduan luar biasa yang sangat relevan untuk membentuk kompetensi seorang guru yang tidak hanya profesional, tapi juga bermartabat.


Dalam ayat pertama, Allah bersumpah dengan pena dan tulisan. Ini bukan sekadar metafora, tapi pesan penting tentang peran ilmu dan literasi dalam membangun peradaban. Guru seharusnya menjadi sosok yang terus menulis, membaca, dan berkembang. Dunia pendidikan adalah dunia belajar sepanjang hayat. Guru tidak cukup hanya mengandalkan apa yang dia pelajari dulu di bangku kuliah. Ia harus aktif mengikuti perkembangan zaman, teknologi, dan cara berpikir generasi muda. Di sinilah peran pena menjadi simbol peradaban, dan guru adalah salah satu penjaganya.


Lanjut ke ayat kedua, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad bukanlah orang gila. Ini memberi pesan penting bagi siapa pun yang berdiri membawa nilai kebenaran, termasuk guru. Sering kali, guru yang menegakkan disiplin, mengajak pada kejujuran, atau berpikir kritis justru dianggap tidak sesuai zaman atau terlalu idealis. Tapi jika yang disampaikan benar dan berpijak pada nilai, maka guru harus berani tetap teguh, meskipun dianggap berbeda. Guru harus punya mental baja, karena ia sedang membentuk karakter manusia, bukan sekadar mendidik angka.


Ayat ketiga menyebut bahwa Rasul akan mendapat pahala yang tidak terputus. Ini memberikan motivasi spiritual bahwa pekerjaan guru bukan pekerjaan biasa. Setiap kata yang menginspirasi, setiap ilmu yang bermanfaat, akan menjadi amal jariyah. Jadi, menjadi guru bukan hanya soal profesi, tapi jalan pengabdian. Pahala yang terus mengalir bukan hanya dari doa murid, tapi dari nilai-nilai yang hidup dalam kehidupan mereka.


Dan puncaknya adalah ayat keempat. Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad memiliki akhlak yang agung. Inilah fondasi utama dalam pendidikan. Guru yang hebat bukan hanya yang pandai menjelaskan pelajaran, tetapi juga yang mampu menjadi teladan dalam tutur kata, sikap, dan perilaku. Murid mungkin akan lupa isi buku pelajaran, tapi mereka akan selalu ingat bagaimana guru mereka memperlakukan orang lain, bagaimana mereka merespons masalah, dan bagaimana mereka memperlakukan murid dengan kasih dan hormat.


Menariknya, nilai-nilai dalam empat ayat ini sangat selaras dengan standar profesionalitas guru masa kini: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Namun ada satu hal yang kerap terlupakan dalam standar modern, yaitu nilai spiritual dan akhlak. Padahal, dalam konteks pendidikan berbasis nilai, inilah yang justru paling penting. Guru yang hebat adalah yang membimbing murid menjadi manusia yang tahu arah hidup, bukan sekadar pencetak lulusan berprestasi.


Dalam dunia pendidikan Indonesia yang sedang bergerak ke arah transformasi, kita perlu mengingat kembali bahwa tugas guru bukan hanya mencetak generasi cerdas, tapi juga membentuk generasi yang berakhlak dan berjiwa luhur. Guru adalah pembimbing di jalan yang panjang, dan kehadirannya bisa jadi cahaya bagi banyak anak yang sedang mencari arah.


Menjadi guru adalah pekerjaan mulia. Tapi untuk benar-benar jadi guru yang dikenang, dibutuhkan lebih dari sekadar kecakapan mengajar. Dibutuhkan integritas, keteladanan, dan akhlak yang kuat—seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad, sang guru umat yang diabadikan langsung dalam firman-Nya.


Jika pendidikan adalah cahaya, maka guru adalah lentera yang membawanya. Dan agar cahayanya tidak padam, ia harus terus menyala dari ilmu, dari akhlak, dan dari keikhlasan. Maka tak berlebihan jika dikatakan, menjadi guru adalah menjadi jalan pulang bagi generasi masa depan. []

Lebih baru Lebih lama