Pernah nggak sih kamu merasa, kadang kita berbuat baik cuma karena takut dimarahi? Bukan karena sadar atau tulus. Seolah-olah kebaikan itu seperti tugas PR—harus dikerjain, kalau enggak bakal kena hukuman.
Tapi bayangin kalau kita bisa berbuat baik karena sadar dan mau sendiri. Tanpa disuruh, tanpa diawasi. Itulah impian besar dari program bimbingan preventif berbasis agama yang diterapkan di beberapa sekolah berasrama di Yogyakarta. Dan serius, hasilnya keren banget.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Siti Bahiroh dan Fitriah M. Suud mengupas bagaimana sekolah-sekolah ini membentuk karakter siswa lewat pendekatan religius, bukan cuma lewat ceramah, tapi lewat pembiasaan nyata sehari-hari.
Di Sekolah A, yang sistemnya boarding school, pembinaan akhlak berjalan 24 jam penuh. Shalat berjamaah lima waktu? Wajib. Dhuha tiap pagi? Rutinitas. Belajar kitab kuning, ikut pramuka Hizbul Wathan, latihan bela diri Tapak Suci? Semua ada. Setiap aktivitas dibungkus dengan semangat spiritual. Jadi, agama bukan cuma pelajaran teori, tapi benar-benar hidup dalam keseharian mereka.
Sementara di Sekolah B, yang berbasis vokasi, pendekatannya agak beda. Mereka memang fokus ke dunia kerja, tapi tetap menghidupkan nilai religius lewat kegiatan sosial. Ada takziah bareng kalau ada keluarga teman yang meninggal, ada program berbagi kurban, dan pembiasaan shalat berjamaah di masjid. Nilai yang dibangun adalah kepedulian dan kepekaan sosial, bukan hanya hafalan doa.
Yang menarik, dua sekolah ini punya satu kesamaan: mereka lebih milih membentuk kesadaran ketimbang memaksa kepatuhan. Mereka percaya bahwa kebaikan itu harus datang dari dalam diri siswa, bukan dari rasa takut terhadap hukuman.
Inilah inti dari konseling preventif berbasis agama: bukan nunggu masalah muncul baru ditangani, tapi membiasakan karakter baik sejak awal. Dengan cara ini, siswa tumbuh jadi pribadi yang tahu kenapa harus jujur, kenapa harus peduli, dan kenapa harus menjaga shalat—bukan sekadar karena takut dimarahi guru.
Tentu aja, pendekatan ini nggak selalu mulus. Namanya juga manusia. Ada aja tantangan: rasa bosan, rasa pengen memberontak, atau godaan dari luar. Tapi bedanya, ketika nilai sudah tertanam dalam diri, santri atau siswa punya fondasi kuat untuk kembali ke jalan yang benar, bahkan saat nggak ada yang mengawasi.
Penelitian ini mengingatkan kita: sekolah yang hebat bukan cuma yang bikin pintar, tapi juga yang bikin siswa jadi manusia utuh—cerdas otaknya, bersih hatinya.
Karena pada akhirnya, ilmu tanpa karakter itu kayak mobil kencang tanpa rem. Bisa jadi keren, tapi juga bisa nabrak kapan saja. Dan dunia kita hari ini, lebih dari apapun, butuh manusia yang tahu bagaimana harus mengerem, memilih, dan melangkah dengan benar. []