Banyak orang bilang menulis itu soal bakat. Kalau kamu nggak terlahir jago merangkai kata, ya udah—nggak usah maksa. Tapi apa benar begitu?
Ternyata enggak. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anas Ahmadi, Dosen dari Universitas Negeri Surabaya justru menunjukkan hal sebaliknya. Dalam kelas menulis kreatif yang dia ampu, ada 81 mahasiswa yang ikut. Dan tebak apa? Hampir semuanya—tepatnya 70 orang—ngaku kalau mereka kesulitan banget saat diminta nulis cerita. Tapi yang menarik, 77 dari mereka bilang masalahnya bukan di teknik menulis, tapi di dalam kepala mereka sendiri.
Mereka merasa nggak berbakat, kurang percaya diri, takut tulisan mereka dinilai jelek, bahkan bingung mau nulis dari mana. Intinya, yang bikin mereka mandek bukan karena nggak bisa, tapi karena perang batin sendiri. Writer's block, rasa malu, overthinking, sampai ngerasa nggak pantas jadi penulis—semua itu lebih bikin stuck daripada soal ejaan atau struktur cerita.
Nah, dari sinilah Anas Ahmadi mengambil pendekatan yang cukup unik. Dia nggak langsung lempar teori menulis atau paksa mahasiswa buat bikin cerita panjang. Sebaliknya, dia justru jadi “psikolog” untuk siswanya. Dalam artian, dia lebih dulu membantu mereka merapikan kondisi psikologis, sebelum ngajak mereka menyusun cerita.
Pendekatannya disebut “psychowriting”—gabungan antara psikologi dan proses menulis. Jadi menulis dipandang bukan cuma soal hasil akhir, tapi proses yang menyentuh emosi, suasana hati, dan cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai penulis. Guru atau dosen dalam hal ini nggak cuma ngasih tugas, tapi juga berperan sebagai fasilitator pemulihan dan penyemangat.
Salah satu strategi yang dilakukan adalah modifikasi perilaku. Ini teknik dari psikologi behavioristik yang intinya membantu orang mengubah kebiasaan lewat latihan, dorongan, dan stimulus positif. Contohnya, mahasiswa diajak masuk komunitas menulis, diberi ruang untuk nulis pelan-pelan tanpa tekanan, dikasih feedback dengan bahasa yang ramah, dan diajak ngobrol satu-satu kalau perlu. Tujuannya? Supaya nulis nggak lagi terasa sebagai beban, tapi jadi ekspresi yang menyenangkan.
Dan hasilnya? Lumayan banget. Dari evaluasi, sekitar 65% mahasiswa bilang mereka mulai suka nulis, bahkan ada yang akhirnya bisa bikin cerpen utuh. Mereka juga jadi lebih percaya diri, lebih santai saat disuruh nulis, dan—yang paling penting—nggak lagi ngerasa harus “berbakat” dulu buat bisa nulis.
Apa yang bisa kita pelajari dari ini? Bahwa menulis itu bukan soal kamu bisa atau enggak. Tapi soal kamu merasa layak atau nggak untuk mencoba. Dan banyak dari kita merasa nggak layak—karena takut, malu, atau mikir tulisan kita nggak cukup bagus. Padahal, semua penulis hebat juga pernah mulai dari tulisan yang canggung dan nggak rapi. Bedanya, mereka terus nulis, dan punya support system yang bikin mereka bertahan.
Dan di sinilah pentingnya guru, dosen, atau teman yang tahu cara mendorong tanpa memaksa. Yang bisa bilang: "Yuk, coba dulu. Nggak harus sempurna." Karena kadang, itu aja cukup untuk bikin seseorang berani mulai.
Jadi, kalau kamu masih mikir “aku nggak bisa nulis”, mungkin bukan karena kamu nggak mampu. Mungkin karena kamu belum punya ruang yang aman buat mulai. Dan mungkin, kamu butuh lebih banyak guru yang bukan cuma ngajarin menulis, tapi juga ngerti cara menyembuhkan rasa takut dalam diri penulis pemula. []