Dalam dunia pendidikan, istilah deep learning alias belajar secara mendalam bukan hal yang baru. Tapi cara kita memahami dan menerapkannya masih sering jadi bahan diskusi. Nah, salah satu artikel yang dibahas menjelaskan gimana sih sebenernya konsep deep learning itu kalau dilihat dari dua sudut pandang yang keren banget: Taksonomi Bloom dan Taksonomi SOLO.
Taksonomi Bloom udah dikenal luas sebagai panduan berpikir dalam belajar. Di sini, proses berpikir siswa dibagi jadi enam level, mulai dari yang paling dasar sampai paling kompleks. Urutannya begini: pertama, “mengingat” alias hafalan dasar; kedua, “memahami”; ketiga, “menerapkan”; keempat, “menganalisis”; kelima, “mengevaluasi”; dan terakhir, “mencipta” atau bikin sesuatu yang baru. Semakin naik level, semakin dalam juga pemahaman yang dimiliki siswa.
Sementara itu, Taksonomi SOLO (Structure of Observed Learning Outcomes) punya pendekatan yang agak beda. SOLO fokus ke seberapa dalam seseorang memahami suatu topik. Ada lima tahap juga, yaitu: pre-structural (belum paham sama sekali), uni-structural (baru ngerti satu bagian kecil), multi-structural (ngerti beberapa bagian tapi belum bisa nyambungin), relational (udah bisa nyambungin dan paham hubungan antar bagian), dan extended abstract (paham banget, bahkan bisa pakai ilmunya di situasi baru).
Kalau dua taksonomi ini digabung, hasilnya bakal keren banget. Soalnya, mereka bantu guru dan siswa untuk nggak cuma sekadar hafalan doang, tapi juga mikir kritis, nyambungin informasi, dan bisa menghasilkan sesuatu yang baru dari apa yang udah dipelajari. Jadi belajarnya nggak cuma numpuk informasi, tapi bener-bener masuk ke otak dan hati.
Dengan panduan ini, guru bisa nyusun strategi belajar yang nggak ngebosenin dan lebih “ngena”. Siswa juga didorong buat terus naik level, dari cuma ngerti sedikit sampai bisa ngehubungin semua konsep dan bahkan bikin ide baru. Dan dari sisi SOLO, guru bisa tahu sejauh mana siswa udah paham—apakah mereka masih di tahap “ngerti dikit” atau udah bisa “nangkep makna besar dan bikin koneksi”.
Gabungan Taksonomi Bloom dan SOLO ini intinya ngebantu kita buat belajar lebih bermakna. Jadi kita nggak cuma asal tahu, tapi bener-bener ngerti, bisa mikir mandiri, dan siap ngadepin tantangan di luar kelas. Ini nih esensi dari deep learning yang sebenarnya.
Kalau kita tarik lebih jauh ke dalam dunia Bimbingan Konseling Islam (BKI), konsep deep learning yang dijelaskan lewat Taksonomi Bloom dan SOLO ini ternyata juga bisa banget diterapkan. Soalnya, dalam BKI, proses bimbingan itu bukan cuma soal memberi solusi cepat atau nasehat kilat, tapi tentang menggali lebih dalam pemahaman diri klien—baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.
Dalam perspektif BKI, konselor itu nggak cuma jadi tempat curhat, tapi juga fasilitator yang membantu klien memahami dirinya, nilai hidupnya, dan bagaimana hubungannya dengan Allah SWT. Nah, kalau pakai Taksonomi Bloom, pendekatannya bisa dimulai dari tahap "mengingat" nilai-nilai Islam dasar, lalu naik ke tahap "memahami" konsep diri dan perasaan, terus lanjut ke "menerapkan" ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Setelah itu, klien diajak untuk "menganalisis" masalah hidupnya dari berbagai sisi, termasuk sudut pandang agama, emosi, dan sosial. Lalu masuk ke tahap "mengevaluasi", yaitu menimbang-nimbang solusi berdasarkan nilai spiritual dan rasional. Terakhir, klien dibimbing ke tahap "mencipta", di mana mereka bisa bikin keputusan hidup yang lebih bermakna, sesuai nilai keislaman yang mereka yakini.
Sementara itu, dengan Taksonomi SOLO, konselor bisa ngelihat seberapa dalam pemahaman klien tentang dirinya dan masalah yang dihadapi. Kalau masih di tahap pre-structural, mungkin klien belum tahu apa masalah sebenarnya. Tapi kalau udah sampai relational atau bahkan extended abstract, berarti klien udah bisa nyambungin berbagai pengalaman hidup dan nilai Islam untuk bikin keputusan yang bijak.
Implementasi dua pendekatan ini dalam BKI bisa bikin proses konseling jadi lebih personal dan bermakna. Klien nggak cuma dikasih tahu "harus begini atau begitu", tapi diajak untuk mengalami proses refleksi diri yang dalam—yang pada akhirnya bikin mereka jadi pribadi yang lebih sadar, tangguh, dan dekat dengan Allah.
Selain itu, pendekatan ini juga sejalan dengan tujuan utama Bimbingan Konseling Islam, yaitu tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Dengan memahami dirinya secara bertahap dan mendalam, klien bisa melepaskan diri dari tekanan batin, kebingungan nilai, dan konflik spiritual yang sering bikin hidup jadi berat. Ini adalah bentuk deep learning yang bukan cuma bikin pintar, tapi juga bikin tenang dan bahagia secara spiritual. []