Ilmu dan Akhlak: Jangan Biarkan Mereka Jalan Sendiri-sendiri

 


Di zaman ketika gelar akademik bisa dibeli, jabatan bisa dikapitalisasi, dan kecanggihan teknologi tak selalu dibarengi kebijaksanaan moral—kita patut bertanya: ke mana perginya akhlak dalam dunia yang semakin berilmu? Mengapa justru mereka yang berpendidikan tinggi kadang menjadi pelaku korupsi, manipulasi, bahkan kekerasan?


Artikel yang ditulis oleh Nuruzzakiyah Auni dan Isna Indriati mencoba menjawab kegelisahan ini dengan merujuk pada tafsir Q.S. Al-Qalam ayat 1–6, melalui karya tafsir kontemporer Khuluqun ‘Azhim oleh M. Yunan Yusuf. Di sana, penulis mengajak kita untuk mengembalikan ilmu ke tempat asalnya: sebagai pembentuk akhlak, bukan sekadar alat pencari jabatan.


Pena dan Tulisan: Awal dari Peradaban

Surat Al-Qalam dibuka dengan sumpah: "Nun. Demi pena dan apa yang mereka tulis." Bagi para mufasir, termasuk M. Yunan Yusuf, ini bukan sekadar ayat tentang alat tulis. Ini adalah simbol peradaban. Pena adalah awal dari proses berpikir, belajar, dan mentransfer nilai. Dan Al-Qur’an menempatkannya dalam posisi sakral.


Ilmu dalam Islam tidak berhenti pada akumulasi informasi. Ia adalah jalan menuju kebajikan dan kedewasaan moral. Maka wajar, jika Rasulullah SAW digambarkan dalam ayat keempat sebagai sosok yang memiliki khuluqun ‘azhim—akhlak yang agung. Karena apa gunanya kepintaran tanpa keluhuran budi?


Ilmu Tanpa Akhlak Itu Kosong

Sayangnya, dalam banyak konteks hari ini, ilmu sering dipisahkan dari akhlak. Sekolah mengejar nilai. Universitas mengejar peringkat. Lembaga riset berlomba menciptakan teknologi, tanpa bertanya apakah hasilnya akan menyejahterakan atau justru merusak.


Padahal, seperti yang diingatkan oleh Al-Qur’an, ilmu yang tidak disertai iman dan akhlak bisa menyesatkan. Ia akan melahirkan manusia yang tahu cara memanipulasi, tapi tidak tahu kapan harus berhenti. Ilmu tanpa etika adalah kekuatan tanpa arah.


Rasulullah: Ilmu yang Menjadi Akhlak

Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang guru, tapi juga representasi dari ilmu yang hidup dalam akhlak. Beliau tidak mengajarkan dengan retorika, tapi dengan keteladanan. Tidak hanya mengajarkan hukum, tapi juga memanusiakan manusia. Maka ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, jawabnya sederhana: "Akhlaq beliau adalah Al-Qur’an."


Inilah pesan inti dari artikel tersebut: Ilmu tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus dituntun oleh nilai, akhlak, dan spiritualitas. Jika tidak, ia akan kehilangan arah, atau bahkan menjadi alat pembenaran bagi kezaliman.


Relevansi bagi Kita Hari Ini

Di era digital, di mana pengetahuan bisa diakses lewat satu klik, akhlak menjadi lebih penting dari sebelumnya. Kita butuh manusia-manusia yang bukan hanya cerdas, tapi juga bijaksana. Bukan hanya cepat berpikir, tapi juga dalam merasakan. Karena sejatinya, kemajuan bukan soal seberapa banyak yang kita tahu, tapi seberapa benar kita menggunakannya.


Dan semuanya bisa dimulai dari satu kesadaran: bahwa belajar itu bukan hanya untuk pintar, tapi untuk menjadi lebih baik. []

Lebih baru Lebih lama