Kamu mungkin masih ingat film Habibie & Ainun—kisah cinta sejati Presiden ke-3 Indonesia yang bikin banyak orang berlinang air mata. Tapi yang belum banyak orang tahu, buku yang jadi dasar film itu ditulis oleh Habibie sendiri, dalam keadaan sedih, depresi, dan hancur hati setelah ditinggal Ainun untuk selamanya.
Setelah kepergian sang istri, Habibie didiagnosis mengalami psikosomatis malignan—sejenis gangguan mental-emosional yang bisa berujung pada gangguan fisik. Tim dokternya memberi empat pilihan: dirawat di rumah sakit jiwa, tinggal di rumah dengan pengawasan dokter, berbicara dengan orang terdekat… atau menulis.
Dan kamu tahu apa yang beliau pilih? Menulis.
Dalam waktu 2,5 bulan, Habibie menuangkan semua perasaannya ke dalam buku. Ia mengenang setiap momen bersama Ainun: dari awal jatuh cinta, menikah, hingga saat-saat terakhir. Kata demi kata, ia bukan hanya menyusun cerita, tapi juga menyusun kembali hatinya yang retak. Dan hasilnya? Kondisi mental dan fisiknya perlahan membaik. Ia merasa lebih tenang. Ia pulih—bukan sepenuhnya, tapi cukup untuk berdiri kembali.
Ini bukan cuma kisah cinta. Ini bukti nyata bahwa menulis bisa menyembuhkan.
Para ilmuwan juga mengiyakan hal ini. Penelitian dari Pennebaker & Beal (1986) menunjukkan bahwa menulis secara rutin tentang pengalaman emosional bisa menurunkan stres, memperkuat imun, bahkan mengurangi gejala depresi. Menulis bikin otak kita kerja lebih seimbang—otak kiri yang logis, dan otak kanan yang kreatif. Hasilnya? Kita jadi lebih kenal sama diri sendiri.
Nggak harus nulis novel. Nggak harus bagus. Cukup tulis apa yang kamu rasakan. Tentang patah hati, soal mimpi yang belum kesampaian, tentang orang yang kamu rindukan, atau rasa hampa yang kamu nggak ngerti datangnya dari mana. Tulis di notes HP, di buku catatan, atau bahkan di kolom draft yang nggak akan kamu publish.
Kamu juga bisa coba nulis puisi. Ya, puisi. Kata-kata yang mungkin terdengar puitis itu justru bisa bantu kita membaca ulang hati sendiri. Seperti yang dikatakan Mary Oliver, penyair Amerika, “Puisi itu bikin kita lebih manusia.” Di tengah dunia yang makin cepat, kadang kita butuh jeda—dan puisi bisa jadi ruang sunyi itu.
Jadi, kalau kamu lagi merasa gelisah, kehilangan arah, atau cuma pengen didengar tapi nggak tahu harus cerita ke siapa—coba menulis. Bukan untuk likes, bukan buat dibaca orang. Tapi buat kamu. Karena kamu berhak pulih, kamu berhak lega, dan mungkin, seperti Habibie, kamu juga bisa sembuh dari luka… lewat kata. []