Pernah nggak sih kamu ngerasa pengen nulis tapi bingung mulai dari mana? Atau punya banyak pikiran di kepala tapi semua mandek waktu ketemu kertas kosong? Tenang, kamu nggak sendiri. Bahkan, para guru—yang tiap hari ngajarin murid nulis dan berpikir—juga bisa ngerasain hal yang sama.
Tapi ada satu kisah menarik dari para guru di Kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Mereka bukan cuma belajar nulis, tapi juga belajar menyembuhkan diri lewat tulisan. Semua ini terjadi dalam sebuah pelatihan bernama bimbingan psychowriting.
Apa itu psychowriting? Singkatnya, ini adalah cara menulis yang ngga cuma fokus ke hasil, tapi juga memperhatikan perasaan dan proses mental si penulis. Jadi kamu nggak disuruh langsung bikin karya ilmiah yang berat, tapi diajak mengenal diri sendiri dulu lewat tulisan. Nulis bukan buat dinilai, tapi buat dipahami.
Dalam pelatihan yang dipandu oleh seorang konselor, para guru belajar buat menulis dari hati. Mereka mulai dari yang paling sederhana: cerita tentang pengalaman pribadi, kegelisahan hidup, atau kenangan yang membekas. Lama-lama, tulisan-tulisan itu dirangkai dan dikembangkan jadi kumpulan cerita yang akhirnya dibukukan dengan judul “Jiwa Kami Adalah Guru.” Keren, kan?
Tapi prosesnya tentu nggak semulus jalan tol. Ada aja tantangan: mulai dari rasa nggak percaya diri, waktu yang mepet karena sibuk ngajar, sampai takut tulisannya dinilai jelek. Tapi karena prosesnya dibikin nyaman—nggak ada tekanan, nggak ada nilai—mereka jadi lebih berani buat berekspresi.
Dan ternyata, selain bisa nulis, mereka juga merasa lebih lega dan tenang secara emosional. Menulis jadi semacam terapi—buat curhat, buat refleksi, dan buat mengenali kembali siapa diri mereka di balik kesibukan sebagai guru.
Pelatihan psychowriting ini jadi bukti kalau menulis itu bukan cuma soal bakat atau teknik, tapi soal keberanian buat jujur pada diri sendiri. Kadang kita nggak butuh kata-kata yang indah, cukup kata yang tulus. Dan dari sana, kita bisa pelan-pelan menyusun ulang hidup yang tadinya kusut.
Buat kita yang hidup di zaman serba cepat, nulis bisa jadi ruang hening yang menyelamatkan. Entah itu di buku harian, di notes HP, atau bahkan di caption IG—yang penting, kita belajar untuk mengenali isi kepala dan hati kita sendiri.
Jadi, kalau kamu selama ini ngerasa nggak bisa nulis, mungkin kamu cuma belum nemu cara yang pas. Coba deh, mulai dari yang kecil. Tulis apa yang kamu rasain hari ini. Bukan buat orang lain, tapi buat kamu sendiri. Karena siapa tahu, dari situ kamu bisa nemuin versi terbaik dari dirimu yang selama ini tenggelam di antara rutinitas dan ekspektasi. []